AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SEMPURNA
I. Pendahuluan
Akta otentik menurut ketentuan pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yaitu ”Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.”
Berdasarkan definisi tersebut diketahui bahwa suatu akta dapat dikatakan sebagai akta otentik harus memenuhi syarat-syarat yaitu dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang, dibuat oleh seorang pejabat atau pegawai umum, dan pejabat atau pegawai umum tersebut harus berwenang untuk membuat akta tersebut ditempat di mana akta dibuat.
Karena dibuat oleh seorang pejabat atau pegawai umum, maka akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Hal ini dikarenakan pejabat atau pegawai umum tersebut mendapatkan kepercayaan dari negara untuk menjalankan sebagian fungsi administratif negara, sehingga legalitasnya dapat dipastikan. Selain itu, seorang pejabat atau pegawai umum juga tidak memiliki keberpihakan dalam pembuatan akta.
Alasan lain akta otentik dikatakan sebagai alat bukti yang sempurna, karena akta otentik memiliki tiga kekuatan pembuktian, yaitu :
1. Kekuatan Pembuktian Lahiriah
Suatu akta otentik yang dapat membuktikan dirinya tanpa adanya penjelasan dari orang lain.
2. Kekuatan Pembuktian Formal
Keterangan-keterangan yang ada dalam akta ini secara formal benar adanya. Sebenar-benarnya disini bisa saja tidak benar karena penghadap berbohong. Kebenaran formal ini mengikat para pihak, para ahli waris dan para pihak yang menerima haknya.
3. Kekuatan Pembuktian Materiil
Isi materi dari apa yang ada dalam akta itu adalah dijamin benar adanya. Karena yang membuat dan menyusun adalah pejabat umum. Kebenaran materiil ini mengikat para pihak, para ahli waris dan para pihak yang menerima haknya.
Dari alasan-alasan yang diuraikan di atas dapat diketahui bahwa akta otentik merupakan suatu alat bukti yang sempurna, yaitu apabila akta otentik diajukan sebagai alat bukti dalam suatu persidangan, maka tidak diperlukan bukti pendukung lain yang menyatakan bahwa akta otentik tersebut benar. Hal ini dikarenakan suatu akta otentik telah dapat dipastikan kebenarannya.
Untuk memahami mengenai akta otentik, apa perbedaan akta otentik dengan akta dibawah tangan, serta mengapa akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna, maka akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini.
II. Pengertian Akta, Jenis Akta, Akta Autentik dan Alat Bukti
A. Pengertian Akta dan Jenis Akta
Akta menurut Veegens-Oppenheim-Polak DL.III 1934 hlm. 459 yang diterjemahkan oleh Tan Thong Kie adalah suatu tulisan yang ditandatangani dan dibuat untuk dipergunakan sebagai alat bukti.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, akta adalah surat tanda bukti berisi pernyataan (keterangan, pengakuan, keputusan, dan sebagainya) tentang peristiwa hukum yang dibuat menurut peraturan yang berlaku, disaksikan, dibuat, dan disahkan oleh pejabat resmi.
Akta terdiri atas dua jenis, yaitu akta otentik dan akta dibawah tangan. Untuk akta otentik akan dibahas pada uraian selanjutnya. Selain akta otentik, jenis akta lainnya adalah akta yang dibuat bukan dihadapan Notaris atau pejabat resmi yang berwenang untuk membuat akta itu. Ada beberapa jenis akta bawah tangan, yaitu:
1) Akta bawah tangan yang dibuat oleh pihak yang terlibat tanpa ada campur tangan Notaris.
2) Akta bawah tangan yang dibuat oleh pihak-pihak yang berkepentingan lalu didaftarkan ke Notaris. Proses pembuatan kesepakatan dan penandatangan akta dilakukan tidak dihadapan Notaris serta tidak melibatkan Notaris. Setelah perjanjian disepakati dan selesai ditandatangani lalu akta tersebut dibawa ke Notaris. Pihak Notaris selanjutnya melakukan pendataan dan mencantumkan akta tersebut dalam buku khusus. Meskipun demikian, kekuatan hukumnya tetap tidak sekuat akta otentik.
3) Akta bawah tangan yang dilegalisasi oleh Notaris. Sedikit berbeda dengan kedua akta bawah tangan sebelumnya, pada akta bawah tangan jenis ini penandatanganan dilakukan di hadapan Notaris. Jadi, pihak-pihak yang memiliki kepentingan menghadap ke Notaris sambil membawa perjanjian yang telah disepakati. Akta bawah tangan jenis ini dilakukan untuk memastikan kebenaran dan keaslian dari pihak yang bertanda tangan. Selain itu juga dilakukan untuk memastikan keabsahan dan kepastian tanggal dilakukannya tanda tangan itu. Secara sekilas jenis akta bawah tangan ini tidak berbeda dengan akta otentik. Meskipun demikian, terdapat perbedaan mendasar di antara keduanya. Perbedaannya, yaitu jika akta bawah tangan yang dilegalisasi proses pembuatan perjanjiannya tidak melibatkan Notaris. Notaris hanya berperan saat terjadi penandatanganan perjanjian dan penandatanganan akta dilakukan di hadapan Notaris. Sementara itu, akta otentik seluruh prosesnya melibatkan peran Notaris, mulai dari penyusunan isi perjanjian hingga penandatanganan perjanjian.
Kekuatan hukum sebuah akta di bawah tangan tidak sekuat akta otentik. Ada beberapa alasan sebuah akta otentik lebih kuat posisinya di mata hukum jika dibandingkan dengan akta di bawah tangan. Akta di bawah tangan tidak memiliki kepastian pada tanggal berlakunya perjanjian dan tidak dapat dipastikan atau dijamin keaslian tanda tangan para pihak yang terlibat. Timbulnya kesulitan ini karena pihak penandatangan bisa saja berkelit dan tidak mengakuinya.
Akta bawah tangan rentan untuk hilang karena negara melalui Notaris tidak mempunyai minuta akta dari perjanjian tersebut. Ketiadaan minuta akta itu berdampak pada isi dan jenis perjanjian itu. Akta bawah tangan itu dapat diubah isinya atau dipalsukan.
Berbeda dengan akta otentik, sebuah akta di bawah tangan tidak memiliki kekuatan untuk melakukan eksekusi. Meskipun dibuat klausul atau poin tentang hukuman di perjanjian tersebut, tetap tidak memiliki kekuatan eksekusi. Hal ini dikarenakan pembuatannya tidak dilakukan di depan pejabat umum negara. Hanya negara yang mempunyai kekuatan untuk melakukan eksekusi.
Perbedaan terbesar antara akta otentik dan akta yang dibuat di bawah tangan, ialah :
1) Akta otentik mempunyai tanggal yang pasti, sedang mengenai tanggal dari akta yang dibuat di bawah tangan tidak selalu demikian;
2) Grosse dari akta otentik dalam beberapa hal mempunyai kekuatan eksekutorial seperti putusan Hakim, sedang akta yang dibuat di bawah tangan tidak pernah mempunyai kekuatan eksekutorial;
3) Kemungkinan akan hilangnya akta yang dibuat di bawah tangan lebih besar dibandingkan dengan akta otentik.
B. Pengertian Akta Otentik
Pengertian akta otentik menurut ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yaitu ”Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.”
Menurut Sudikno Mertokusumo, akta otentik adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semua dengan sengaja untuk pembuktian.
Berdasarkan definisi tersebut, syarat agar suatu akta menjadi akta otentik adalah :
1) Akta otentik harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang. Maksud dari bentuk yang ditentukan undang-undang dalam hal ini adalah bahwa akta tersebut pembuatannya harus memenuhi ketentuan undang-undang, khusunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN).
2) Akta otentik tersebut harus dibuat dihadapan atau oleh pejabat umum (openbaar ambtenaar). Kata ”dihadapan” menunjukkan bahwa akta tersebut dibuat atas permintaan seseorang, sedangkan akta yang dibuat ”oleh” pejabat umum karena adanya suatu kejadian, pemeriksaan, keputusan, dan sebagainya (berita acara rapat, protes wesel, dan lain-lain).
3) Pejabat yang membuat akta tersebut harus berwenang untuk maksud itu di tempat akta tersebut dibuat. Berwenang (bevoegd) dalam hal ini khususnya menyangkut : (1) jabatannya dan jenis akta yang dibuatnya; (2) hari dan tanggal pembuatan akta; dan (3) tempat akta dibuat.
C. Pengertian Alat Bukti
Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan bahwa alat bukti adalah ” Evidence is any species of proof,or probative matter, legally presented at the trial of an issue, by the act os the partnes and through the medium of witnesses, record, documents, exhibits, concrete objects, etc, for the purpose of including belief in the mind of the court of jury as to their contention” . (Alat bukti adalah semua jenis bukti yang secara legal disajikan di depan persidangan oleh suatu pihak dan melalui sarana saksi, catatan, dokumen, peragaan, benda-benda konkrit dan lain sebagainya, dengan tujuan untuk menimbulkan keyakinan pada Hakim).
Dalam Hukum Perdata, menurut ketentuan Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyatakan bahwa “Alat-alat bukti terdiri atas : bukti tulisan; bukti dengan saksi-saksi; persangkaan-persangkaan; pengakuan; dan sumpah.”
Dalam Hukum Pidana, macam-macam alat bukti diatur dalam ketentuan Pasal 184 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terdiri atas : “keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; dan keterangan terdakwa”
Alat bukti yang diajukan dalam acara persidangan di Pengadilan dapat dikategorikan sebagai :
- alat bukti yang mencapai batas minimal yang ditentukan hukum dan
- alat bukti yang tidak mencapai batas minimal; dimana yang terakhir dapat dikategorikan menjadi 2 bagian lagi yaitu : - alat bukti yang tidak sah / tidak memenuhi syarat dan - alat bukti permulaan ( begin van bewijs ).
Yang dimaksud dengan alat bukti minimal menurut M Yahya Harapan : Secara teknis dan populer dapat diartikan yaitu suatu jumlah alat bukti yang sah yang paling sedikit harus terpenuhi, agar alat bukti itu mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk mendukung kebenaran yang didalilkan atau dikemukakan; apabila alat bukti yang diajukan di persidangan tidak mencapai batas minimal, alat bukti itu tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup untuk membuktikan kebenaran dalil atau peristiwa maupun pernyataan yang dikemukakan.
Alat bukti yang sah/ memenuhi syarat adalah alat bukti yang memenuhi syarat formil dan materiil, apabila alat bukti yang diajukan tidak memenuhi ke 2 syarat tersebut, maka alat bukti tersebut tidak sah sebagai alat bukti dan oleh karena itu tidak memenuhi batas minimal pembuktian.
Alat bukti permulaan adalah alat bukti yang tidak memenuhi batas minimal pembuktian apabila tidak ditambah paling sedikit satu alat bukti lagi, contohnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 1905 KUHPdt juncto pasal 169 HIR asas seorang saksi bukanlah saksi ( unus testis nullus testis ). Agar dapat memenuhi ketentuan batas minimal, maka perlu ditambah satu alat bukti lagi.
Patokan yang dapat digunakan agar alat bukti yang diajukan di persidangan mencapai batas minimal pembuktian adalah tidak tergantung pada jumlah alat bukti (faktor kuantitas) namun pada faktor kualitas alat bukti yaitu alat bukti yang memenuhi syarat formil dan materiil. Setiap alat bukti mempunyai syarat formil dan materiil yang berbeda-beda, misalnya alat bukti saksi :
Syarat formil :
- orang yang tidak dilarang menjadi saksi ( Pasal 1910 KUHPdt, pasal 145 jo pasal 172 HIR );
- mengucapkan sumpah menurut agama atau kepercayaannya sesuai pasal 1911 KUHPdt
Syarat materiil :
- keterangan yang diberikan berisi segala sebab pengetahuan bukan berdasarkan pendapat atau dugaan yang diperoleh dengan menggunakan pikiran sesuai Pasal 1907 KUHPdt jo pasal 171 HIR;
- keterangan yang diberikan saling bersesuaian dengan yang lain atau alat bukti lain ( Pasal 1906 KUHPdt jo pasal 170 HIR ).
Tidak seperti didalam sistem pembuktian dalam Hukum Pidana ( yang tidak mengenal alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan ), maka didalam sistem pembuktian dalam Hukum Perdata, setiap alat bukti memiliki batas minimal dan nilai kekuatan pembuktian yang berbeda-beda.
III. Akta Otentik Sebagai Alat Bukti yang Sempurna
Sebuah akta otentik merupakan dokumen yang sah dan dapat menjadi alat bukti yang sempurna. Sempurna di sini berarti Hakim menganggap semua yang tertera dalam akta merupakan hal yang benar, kecuali ada akta lain yang dapat membuktikan isi akta pertama tersebut salah. Oleh karena itu, pembuatan sebuah akta otentik menjadi sesuatu yang penting. Memiliki akta otentik berarti kita memiliki bukti atau landasan yang kuat di mata hukum.
Ada beberapa alasan yang menunjang kekuatan hukum sebuah akta otentik. Akta otentik dibuat di hadapan seorang pejabat umum negara sehingga legalitasnya dapat dipastikan, ditambah lagi bahwa seorang pejabat umum negara tidak memiliki keberpihakan dalam pembuatan akta. Hal ini berbeda dengan akta yang dibuat sendiri, meskipun disaksikan pihak ketiga, tetapi hal itu tidak dapat menjadi sebuah jaminan. Dapat saja pihak-pihak yang terlibat pembuatan akta menyangkal keterlibatannya. Hal ini dapat saja terjadi karena mereka mempunyai kepentingan sendiri-sendiri.
Hal lain yang membuat akta otentik memiliki kekuatan hukum adalah karena akta otentik memiliki minuta akta yang disimpan oleh negara melalui Notaris. Akan sangat kecil kemungkinan akta otentik hilang. Bukan hanya itu, jika seorang menyangkal isi atau keberadaan akta otentik maka akan mudah untuk diperiksa kebenarannya.
Kekuatan pembuktian akta otentik adalah akibat langsung yang merupakan keharusan dari ketentuan perundang-undangan, bahwa harus ada akta-akta otentik sebagai alat pembuktian dan dari tugas yang dibebankan oleh undang-undang kepada pejabat-pejabat atau orang-orang tertentu. Dalam pemberian tugas inilah terletak pemberian tanda kepercayaan kepada para pejabat itu dan pemberian kekuatan pembuktian kepada akta-akta yang mereka buat. Sebab jika tidak demikian untuk apa menugaskan kepada mereka untuk ”memberikan keterangan dari semua apa yang mereka saksikan di dalam menjalankan jabatan mereka” atau untuk ”merelatir secara otentik semua apa yang diterangkan oleh para penghadap kepada Notaris, dengan permintaan agar keterangan-keterangan mereka itu dicantumkan dalam suatu akta dan menugaskan mereka untuk membuat akta mengenai itu.
Menurut pendapat yang umum yang dianut, pada setiap akta otentik, dengan demikian juga pada akta Notaris, dibedakan tiga kekuatan pembuktian, yakni :
a. Kekuatan Pembuktian Lahiriah (Uitwendige Bewijsracht).
Dengan kekuatan pembuktian lahiriah ini dimaksudkan kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Kemampuan ini menurut Pasal 1875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat di bawah tangan; akta yang dibuat di bawah tangan baru berlaku sah, yakni sebagai yang benar-benar berasal dari orang, terhadap siapa akta itu dipergunakan, apabila yang menandatanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangannya itu atau apabila itu dengan cara yang sah menurut hukum dapat dianggap sebagai telah diakui oleh yang bersangkutan.
Lain halnya dengan akta otentik. Akta otentik membuktikan sendiri keabsahannya atau seperti yang lazim disebut dalam bahasa latin : ”acta publica probant sese ipsa”. Apabila suatu akta kelihatannya sebagai akta otentik, artinya menandakan dirinya dari luar, dari kata-katanya sebagai yang berasal dari seorang pejabat umum, maka akta itu terhadap setiap orang dianggap sebagai akta otentik, sampai dapat dibuktikan bahwa akta itu adalah tidak otentik.
Sepanjang mengenai kekuatan pembuktian lahiriah ini, yang merupakan pembuktian lengkap dengan tidak mengurangi pembuktian sebaliknya maka ”akta partij” dan ”akta pejabat” dalam hal ini adalah sama. Sesuatu akta yang dari luar kelihatannya sebagai akta otentik, berlaku sebagai akta otentik terhadap setiap orang; tanda tangan dari pejabat yang bersangkutan (notaris) diterima sebagai sah.
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, kekuatan pembuktian lahiriah ini tidak ada pada akta yang dibuat dibawah tangan. Sepanjang mengenai pembuktian hal ini merupakan satu-satunya perbedaan akta otentik dan akta yang dibuat di bawah tangan. Kalaupun ada perbedaan-perbedaan lain yang membedakan akta otentik dari akta yang dibuat di bawah tangan, seperti misalnya memiliki kekuatan eksekutorial, keharusan berupa akta otentik untuk beberapa perbuatan hukum tertentu dan lain-lain perbedaan, semuanya itu tidak mempunyai hubungan dengan hukum pembuktian.
b. Kekuatan Pembuktian Formal (Formele Bewijskracht)
Dengan kekuatan pembuktian formal ini oleh akta otentik dibuktikan, bahwa pejabat yang bersangkutan telah menyatakan dalam tulisan itu, sebagaimana yang tercantum dalam akta itu dan selain dari itu kebenaran dari apa yang diuraikan oleh pejabat dalam akta itu sebagai yang dilakukannya dan disaksikannya di dalam menjalankan jabatannya itu. Dalam arti formal, sepanjang mengenai akta pejabat (ambtelijke akte), akta itu membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar, dan juga dilakukan sendiri oleh Notaris sebagai pejabat umum di dalam menjalankan jabatannya.
Pada akta yang dibuat di bawah tangan kekuatan pembuktian ini hanya meliputi kenyataan, bahwa keterangan itu diberikan apabila tanda tangan itu diakui oleh yang menandatanganinya atau dianggap sebagai telah diakui sedemikian menurut hukum.
Dalam arti formal, maka terjamin kebenaran/ kepastian tanggal dari akta itu, kebenaran tanda tangan yang terdapat dalam akta itu, identitas dari orang-orang yang hadir (comparanten), demikian juga tempat di mana akta itu dibuat dan sepanjang mengenai akta partij, bahwa para pihak ada menerangkan seperti yang diuraikan dalam akta itu, sedang kebenaran dari keterangan-keterangan itu sendiri hanya pasti antara pihak-pihak sendiri (demikian menurut pendapat yang umum).
Sepanjang mengenai kekuatan pembuktian formal ini juga dengan tidak mengurangi pembuktian sebaliknya yang merupakan pembuktian lengkap, maka akta partij dan akta pejabat dalam hal ini adalah sama, dengan pengertian bahwa keterangan pejabat yang terdapat di dalam kedua golongan akta itu ataupun keterangan dari para pihak dalam akta, baik yang ada di dalam akta partij maupun di dalam akta pejabat, mempunyai kekuatan pembuktian formal dan berlaku terhadap setiap orang, yakni apa yang ada dan terdapat di atas tanda tangan mereka.
c. Kekuatan Pembuktian Material (Materiele Bewijskracht)
Sepanjang yang menyangkut kekuatan pembuktian material dari suatu akta otentik, terdapat perbedaan antara keterangan dari Notaris yang dicantumkan dalam akta itu dan keterangan dari para pihak yang tercantum di dalamnya. Tidak hanya kenyataan, bahwa adanya dinyatakan sesuatu yang dibuktikan oleh akta itu, akan tetapi juga isi dari akta itu dianggap dibuktikan sebagai yang benar terhadap setiap orang, yang menyuruh adakan/buatkan akta itu sebagai tanda bukti terhadap dirinya atau yang dinamakan ”preuve preconstituee”; akta itu mempunyai kekuatan pembuktian material. Kekuatan pembuktian inilah yang dimaksud dalam Pasal 1870, 1871, dan 1875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);
Pasal 1870 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) :
”Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang di muat di dalamnya”.
Pasal 1871 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) :
”Suatu akta otentik namunlah tidak memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya sebagai suatu penuturan belaka. Selain sekadar apa yang dituturkan itu ada hubungan langsung dengan pokok isi akta”.
Pasal 1875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) :
”Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik, dan demikian pula berlakulah ketentuan Pasal 1871 untuk tulisan itu”.
antara para pihak yang bersangkutan dan para ahli waris serta penerima hak mereka akta itu memberikan pembuktian yang lengkap tentang kebenaran dari apa yang tercantum dalam akta itu, dengan pengecualian dari apa yang dicantumkan di dalamnya sebagai hanya suatu pemberitahuan belaka (blote mededeling) dan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan yang menjadi pokok dalam akta itu.
Karena akta itu, isi keterangan yang dimuat dalam akta itu berlaku sebagai yang benar, isinya itu mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya, menjadi terbukti dengan sah di antara pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka, dengan pengertian :
1. bahwa akta itu, apabila dipergunakan di muka pengadilan, adalah cukup dan bahwa hakim tidak diperkenankan untuk meminta tanda pembuktian lainnya disamping itu;
2. bahwa pembuktian sebaliknya senantiasa diperkenankan dengan alat-alat pembuktian biasa, yang diperbolehkan untuk itu menurut undang-undang.
Di atas dikatakan, bahwa suatu akta otentik, apabila dipergunakan di muka pengadilan, adalah cukup dan hakim tidak diperkenankan untuk meminta tanda pembuktian lainnya di samping itu. Walaupun pada umumnya dianut yang dinamakan ”vrijebewijstheorie”, yang berarti bahwa kesaksian para saksi misalnya tidak mengikat hakim pada alat bukti itu, akan tetapi lain halnya dengan akta otentik, di mana undang-undang mengikat hakim pada alat bukti itu. Sebab jika tidak demikian, apa gunanya undang-undang menunjuk para pejabat yang ditugaskan untuk membuat akta otentik sebagai alat bukti, jika hakim begitu saja dapat mengenyampingkannya.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa suatu akta otentk memiliki tiga kekuatan pembuktian, yaitu kekuatan pembuktian lahiriah, kekuatan pembuktian formal, dan kekuatan pembuktian materiil. Oleh karena suatu akta otentik memiliki ketiga kekuatan pembuktian, maka suatu akta otentik merupakan suatu alat bukti yang sempurna. Apabila suatu akta otentik ternyata tidak memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil maupun materil dan tidak memenuhi syarat otentisitas maka akta otentik tidak lagi disebut sebagai akta otentik melainkan hanya akta di bawah tangan.
Yang seperti telah diuraikan juga di atas, bahwa maksud akta otentik sebagai alat bukti yang sempurna adalah apabila bukti ini diajukan dalam suatu persidangan, maka hakim tidak akan menyangkal kebenarannya, dan hakim tidak akan meminta bukti pendukung lainnya. Hal ini dikarenakan suatu akta otentik dibuat oleh seorang pejabat atau pegawai umum yang berweanang untuk membuat akta itu, di mana dalam hal ini pegawai atau pejabat umum tersebut telah diberi kepercayaan oleh negara untuk menjalankan sebagian fungsi administratif dari negara.
Sehingga apa yang dibuat oleh para pejabat atau pegawai umum tersebut tidak perlu disangkal lagi kebenarannya, karena mereka orang-orang yang telah diberi kepercayaan oleh negara.
Nilai kekuatan pembuktian (bewijskracht) yang melekat pada Akta Otentik diatur dalam pasal 1870 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) jo pasal 285 RBG adalah : sempurna (volledig bewijskracht), dan mengikat (bindende bewijskracht) ; sehingga Akta Otentik dapat berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan atau dukungan alat bukti yang lain, dengan kata lain Akta Otentik yang berdiri sendiri menurut hukum telah memenuhi ketentuan batas minimal pembuktian.
Namun yang perlu diperhatikan dengan seksama adalah nilai pembuktian yang sempurna dan mengikat tersebut bukannya tidak dapat berubah status kekuatan dan pemenuhan syarat batas minimalnya. Akta Otentik dapat saja kekuatan pembuktian dan batas minimalnya dapat berubah menjadi bukti permulaan tulisan (begin van bewijs bij geschrifte) yaitu apabila terhadapnya diajukan bukti lawan (tegenbewijs) yang setara dan menentukan. Jadi yang perlu dipahami disini adalah bahwa bukti Akta Otentik tersebut adalah alat bukti yang sempurna dan mengikat namun tidak bersifat menentukan (beslissend) atau memaksa (dwingend). Disinilah kedudukan yang sebenarnya dari Akta Otentik dalam sistem hukum pembuktian.
IV. Penutup
A. Kesimpulan
Dari penulisan makalah mengenai akta otentik sebagai alat bukti yang sempurna, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna, yaitu suatu alat bukti yang apabila diajukan ke suatu persidangan, maka hakim tidak akan meminta bukti pendukung lainnya, karena suatu akta otentik merupakan akta yang dibuat oleh seorang pejabat atau pegawai umum yang berwenang untuk itu. Di mana pejabat atau pegawai umum ini diberikan kepercayaan oleh negara untuk menjalankan sebagian fungsi publik dari negara. Karena diberikan kepercayaan oleh negara, maka akta yang dibuat oleh pejabat atau pegawai umum tersebut dapat dipastikan kebenarannya.
2. Akta otentik memiliki tiga kekuatan pembuktian, yaitu kekuatan pembuktian lahiriah, kekuatan pembuktian formal, dan kekuatan pembuktian materil. Oleh karena suatu akta otentik memiliki ketiga kekuatan pembuktian, maka suatu akta otentik merupakan suatu alat bukti yang sempurna. Apabila suatu akta otentik ternyata tidak memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil maupun materil dan tidak memenuhi syarat otentisitas maka akta otentik tidak lagi disebut sebagai akta otentik melainkan hanya akta di bawah tangan.
3. Nilai pembuktian yang sempurna dan mengikat tersebut bukannya tidak dapat berubah status kekuatan dan pemenuhan syarat batas minimalnya. Akta Otentik dapat saja kekuatan pembuktian dan batas minimalnya dapat berubah menjadi bukti permulaan tulisan (begin van bewijs bij geschrifte) yaitu apabila terhadapnya diajukan bukti lawan (tegenbewijs) yang setara dan menentukan. Jadi yang perlu dipahami disini adalah bahwa bukti Akta Otentik tersebut adalah alat bukti yang sempurna dan mengikat namun tidak bersifat menentukan (beslissend) atau memaksa (dwingend). Disinilah kedudukan yang sebenarnya dari Akta Otentik dalam sistem hukum pembuktian.
B. Saran
Dari penulisan makalah ini, maka saran yang dapat diberikan oleh penulis adalah dalam melakukan suatu perbuatan hukum yang hendak dituangkan pada suatu perjanjian dalam bentuk tertulis, sebaiknya akta tersebut dibuat dalam bentuk akta otentik. Karena dalam hal terjadi sengketa terhadap pelaksanaan perjanjian tersebut, maka akta otentik tadi dapat diajukan ke persidangan tanpa memerlukan alat bukti pendukung lainnya. Hal ini disebabkan akta otentik memiliki kekuatan pembuktian lahiriah, formal, dan materiil. Selain itu juga, akta otentik merupakan akta yang dibuat oleh pejabat atau pegawai umum yang diberikan kepercayaan oleh negara. Sehingga akta otentik tidak perlu diragukan lagi kebenarannya.
Hal ini tentu saja berbeda dengan akta di bawah tangan, dalam hal perjanjian tersebut di buat dengan akta di bawah tangan, maka apabila akta di bawah tangan ini diajukan ke persidangan masih diperlukan bukti pendukung lainnya yang menyatakan kebenaran akta tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa akta otentik memberikan suatu jaminan hukum yang lebih pasti dibandingkan dengan akta di bawah tangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar