Senin, 16 Desember 2013

Otentisitas Suatu Akta Otentik


1. Kebutuhan untuk Membuat Suatu Bukti
Dalam masyarakat kita yang sangat kental dengan adat kebiasaan, peristiwa-peristiwa yang penting umumnya dibuktikan dengan persaksian dari beberapa orang saksi. Biasanya, yang menjadi saksi-saksi hidup untuk peristiwa-peristiwa itu adalah para tetangga, teman sekampung atau pegawai desa. Mulai dari peristiwa dalam lingkungan keluarga, seperti pemberian nama kepada anak yang baru lahir, pengangkatan anak, perkawinan, pembagian warisan sampai peristiwa hukum, seperti jual beli tanah, rumah dan sebagainya. 
Apabila terjadi suatu sengketa dan harus dibuktikan kebenarannya, para saksi hidup itulah yang akan memperkuat kebenarannya dengan memberikan kesaksian. Oleh Namun, keberadaan saksi-saksi hidup sebenarnya memiliki kelemahan. Selama mereka  masih hidup, kemungkinan tidak timbul kesukaran dalam memberikan suatu kesaksian. Namun, bagaimana apabila para saksi sudah tidak ada lagi, baik karena sudah meninggal dunia atau sudah pindah ke tempat lain dan tidak diketahui keberadaannya. Kondisi ini menimbulkan kesadaran bagi orang-orang yang berkepentingan untuk mencari peneguhan dari suatu peristiwa penting dengan mencatatkannya dalam suatu surat (dokumen) dan ditandatangani oleh orang-orang yang berkepentingan dan dua orang saksi atau lebih. Apabila mereka tidak cakap menulis sehingga tidak dapat menaruh tandatangannya, maka biasanya mereka menaruh cap jempol sebagai tandatangannya. Biasanya Lurah/kepala desa ikut menaruh tandatangan dan menaruh cap jabatannya sebagai pengesahan.
Akta notaris sebagai sebuah akta otentik memiliki fungsi yang penting dalam kehidupan bermasyarakat. Kebutuhan akan pembuktian tertulis, berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum yang merupakan salah satu prinsip dari negara hukum.
Akta notaris merupakan alat pembuktian yang sempurna, terkuat dan penuh sehingga selain dapat menjamin kepastian hukum, akta notaris juga dapat menghindari terjadinya sengketa. Menuangkan suatu perbuatan, perjanjian, ketetapan dalam bentuk akta notaris dianggap lebih baik dibandingkan dengan menuangkannya dalam surat di bawah tangan, walaupun ditandatangani di atas materai, yang juga diperkuat oleh tanda tangan para saksi.
Namun, dalam prakteknya, seringkali sengketa timbul sebagai akibat keberadaan sebuah akta notaris. Bahkan, kasus-kasus pidana yang membawa notaris sebagai tersangka sebagai konsekuensi dari akta notaris yang dibuatnya, bukan lagi hal yang baru.   Alih-alih menjadi alat bukti yang terkuat dan penuh, akta notaris malah menjadi sumber perselisihan bagi para pihak yang mempersoalkan sah atau tidaknya akta notaris tersebut.
Menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN), akta notaris merupakan akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan oleh UUJN. Dalam Penjelasan Umum, dikatakan bahwa akta notaris itu pada hakekatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada notaris. Namun, mengenai apa yang dimaksud dengan sebuah akta otentik, UUJN tidak memberikan penjelasan lebih lanjut.
2. Perkembangan Akta Otentik
Perkembangan pesat dalam dunia pendidikan memberikan dampak yang besar terhadap kemajuan bidang intelektual. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya  pemikiran yang lebih maju dalam segala bidang, terutama dalam bidang hukum. Orang semakin menyadari bahwa bukti tertulis merupakan alat pembuktian yang penting dalam lalu lintas hukum.  Dalam hal ini, notaris sebagai sebuah instansi yang menimbulkan alat-alat pembuktian tertulis dan mempunyai sifat otentik dengan akta-aktanya yang dibuatnya, memiliki peran penting dalam mendorong masyarakat guna mempergunakan alat-alat pembuktian tertulis .
Pada awal-awal munculnya lembaga notariat, yaitu pada abad ke-2 dan ke-3, para pengabdinya (dikenal dengan nama tabiliones) tidak diangkat oleh penguasa umum untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam membuat akta-akta. Oleh karena para pengabdinya tidak diangkat oleh pihak yang berwenang, akta-akta yang dihasilkannya pun tidak mempunyai kekuatan otentik, sehingga kekuatannya hanya setara akta yang dibuat di bawah tangan.  Pandangan ini kemudian berubah pada abad ke-13. Sifat otentik akta, yang berarti berlaku sebagai akta umum (openbaar geschrift), sudah diakui apabila akta itu berasal dari seorang notaris yang diangkat oleh pejabat pemerintah. Walaupun demikian, kekuatan pembuktian (bewijskracht) terhadap akta-akta notaris benar-benar  diakui sejak abad ke-15. Semenjak saat itu, akta-akta notaris tidak lagi dibuat hanya sebagai alat untuk mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, melainkan juga dibuat untuk kepentingan kekuatan pembuktiannya.
3. Pengertian Akta Otentik
Akta merupakan tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan alat bukti. Dalam Hukum (Acara) Perdata (Pasal 138, 165, 167 HIR, Pasal 1868 KUH perdata), alat bukti yang sah atau yang diakui oleh hukum terdiri atas:
a. Bukti tulisan;
b. Bukti dengan saksi-saksi;
c. Persangkaan-persangkaan;
d. Pengakuan;
e. Sumpah.
Selanjutnya, Pasal 1867 KUH Perdata menyebutkan bahwa pembuktian dengan tulisan dapat dilakukan dengan tulisan otentik atau dengan tulisan di bawah tangan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sebuah akta dapat dikatakan mempunyai kekuatan sebagai akta otentik apabila akta tersebut dibuat oleh pejabat yang diangkat oleh pihak yang berwenang. UUJN tidak memberi pengertian lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan akta otentik. Walaupun demikian, istilah dan pengertian akta otentik dapat dilihat dalam Buku Ke-4 KUH Perdata mengenai Bukti dan Daluwarsa. Menurut Pasal 1868 KUH Perdata, yang dimaksud dengan akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Menurut ketentuan pasal ini, sebuah akta dapat dikatakan otentik apabila telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut, yaitu:
a. Dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;
b. Dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk maksud pembuatan akta tersebut;
c. Dibuat di wilayah notaris berwenang.
Akta yang  dibuat di hadapan notaris  disebut akta notarial, atau authentik, atau akta otentik.  Pasal 1869 KUH Perdata kemudian menyatakan bahwa akta tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, apabila pejabat umum yang membuatnya tidak berwenang  atau tidak cakap sebagai pejabat umum atau bentuk akta tersebut tidak memenuhi persyaratan yang dinyatakan dalam undang-undang. Berdasarkan ketentuan tersebut, persoalan apakah sebuah akta otentik atau bukan  merupakan persoalan sah atau tidaknya suatu akta.
Otentik itu berarti sah, harus dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. Oleh karena notaris itu merupakan pejabat yang berwenang dalam membuat akta, maka akta yang dibuat di hadapan atau oleh notaris merupakan akta otentik, atau akta itu sah.  Pasal 1870 KUH Perdata kemudian menegaskan bahwa akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna (terkuat) tentang apa yang termuat di dalamnya, sepanjang berhubungan langsung dengan pokok isi akta.
Namun, seringkali para pihak membuat perjanjian yang ditulis sendiri oleh para pihak, tidak dibuat di hadapan notaris. Tulisan yang demikian disebut akta di bawah tangan (“di bawah tangan” merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “onderhands”).
Jadi, akta yang dibuat di hadapan notaris merupakan akta otentik, sedangkan akta yang dibuat hanya di antara para pihak yang berkepentingan disebut akta di bawah tangan.
Biasanya, bukti itu diperlukan kalau ada sengketa. Misalnya, dalam jual beli, pihak pembeli akan menanyakan apakah barang tersebut merupakan miliknya. Akta tidak dapat dibuat kalau orang yang hendak menjual tidak memiliki bukti atas kepemilikannya. Sebaliknya, dalam hal tidak ada sengketa, akta otentik, akta di bawah tangan yang dilegalisasi atau diwaarmerking,  pada prinsipnya sama saja. Namun, tidak semua akta dapat dibuat di bawah tangan. Akta pendirian PT, Yayasan, Firma, Perjanjian Kawin harus dibuat secara otentik.
4. Ciri-Ciri Akta Otentik
Agar berlaku sah resmi menurut hukum, umumnya seseorang akan membuat akta, surat, perbuatan hukum tertentu di hadapan notaris.  Cara tersebut dianggap lebih baik dibandingkan dengan membuat surat di bawah tangan, walaupun ditandatangani di atas materai, lengkap dengan para saksi. Menurut C.A Kraan  memberikan beberapa ciri yang terdapat dalam sebuah akta otentik, yaitu:
a.       Suatu tulisan yang sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana yang ditulis dan dinyatakan oleh perjabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut ditandatangani oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan;
b.       Suatu tulisan yang harus dianggap berasal dari pejabat yang berwenang, sampai ada bukti sebaliknya;
c.       Memenuhi ketentuan yang mengatur tatacara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta, nama dan kedudukan/jabatan pejabat yang membuatnya);
d.       Pejabat yang bersangkutan diangkat oleh negara, mempunyai sifat dan pekerjaan yang mandiri (onafhankelijk independence) serta tidak memihak (onpartijdig impatial) dalam menjalankan jabatannya;
e.       Pernyataan dari fakta atau tindakan yang disebutkan oleh pejabat merupakan  hubungan hukum dalam bidang hukum privat.
5. Persyaratan Material Akta Otentik
Akta merupakan suatu tulisan yang berarti segala sesuatu yang memuat tanda yang dapat dibaca. Menurut R.E van Esch,  sebagai alat bukti, material yang digunakan untuk menerakan tulisan tersebut haruslah memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:
a.       Ketahanan akan jenis material yang dipergunakan. Hal ini berkaitan dengan kewajiban notaris untuk membuat minuta akta dan menyimpan minuta akta sehingga aktanya tetap bertahan ketika disimpan.
b.       Ketahanan terhadap pemalsuan sehingga lebih memberikan jaminan bagi para pihak.
c.       Orisinalitas bahwa hanya ada satu minuta akta yang ‘asli’, kecuali untuk akta in originally yang dibuat dalam beberapa rangkap yang tetap dianggap ‘asli’;
d.       Publisitas bagi para pihak yang berkepentingan untuk melihatnya;
e.       Data-data yang terdapat dalam akta dapat segera diketahui atau mudah terlihat (waarneembaarheid);
f.       Akta mudah dipindahkan.
6. Kekuatan Pembuktian Akta Notaris
Akta otentik maupun akta di bawah tangan dibuat dengan tujuan untuk dipergunakan sebagai alat bukti. Perbedaan yang penting dari kedua jenis akta tersebut terletak pada nilai pembuktiannya. Akta otentik memiliki pembuktian yang sempurna (Pasal 1870 KUH Perdata). Dengan kesempurnaan akta yang notaris sebagai alat bukti, maka akta tersebut harus dilihat apa adanya, tidak perlu dinilai atau ditafsirkan lain, selain seperti yang tertulis dalam akta tersebut.
Suatu akta notaris yang merupakan suatu keterangan notaris dalam kedudukannya sebagai Pejabat Umum untuk menjamin:
-        Kehadiran para penghadap;
-        Pada tempat tertentu;
-        Pada tanggal tertentu;
-        Benar para penghadap memberikan keterangan sebagaimana tercantum dalam akta atau benar terjadi keadaan sebagaimana disebutkan dalam akta;
-        Benar ditandatangani oleh para penghadap untuk akta pihak (akta partij).
Pasal 44 ayat (2) UUJN mensyaratkan bahwa akta notaris berupa akta partij harus ditandatangani oleh para pihak yang berkepentingan. Tanda tangan merupakan suatu susunan (huruf) tanda berupa tulisan dari orang yang menandatangani agar orang tersebut dapat diindividualisasikan. Pembubuhan tanda tangan mempunyai beberapa fungsi, antara lain sebagai identifikasi dan penyataan kehendak. Tanda tangan dalam akta bertujuan agar para pihak tidak dapat memungkiri fakta yang dinyatakan. Dengan individualisasi tersebut, diharapkan pihak lain dapat melakukan verifikasi.
Pasal 1870 KUH Perdata yang menetapkan bahwa suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripada mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya. Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa akta otentik itu mempunyai kekuatan pembuktian yang mutlak, apalagi apabila akta itu memuat perjanjian yang mengikat kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut. Jadi, apabila antara pihak-pihak yang membuat perjanjian itu terjadi sengketa, maka apa yang tersebut dalam akta otentik itu merupakan bukti yang sempurna, sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dengan alat-alat pembuktian lain. Di sini, akta otentik memberikan fungsi penting daam praktek hukum sehari-hari, yaitu memudahkan pembuktian dan memberikan kepastian hukum yang lebih kuat.
Lain halnya dengan akta di bawah tangan yang masih dapat disangkal dan baru mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna apabila diakui oleh kedua belah pihak atau dikuatkan lagi dengan alat-alat pembuktian lainnya. Oleh karena itu, dikatakan bahwa akta di bawah tangan merupakan permulaan bukti tertulis (begin van schrifttelijk bewijs).
Secara umum, pada setiap akta otentik, termasuk pula akta notaris, dapat dibedakan tiga kekuatan pembuktian,   yaitu sebagai berikut:
1.       Kekuatan pembuktian lahiriah atau kekuatan pembuktian yang luar (uitwendige bewijskracht), ialah syarat-syarat formal yang diperlukan agar supaya akta notaris dapat berlaku sebagai akta otentik.
2.       Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht) ialah kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap.
3.       Kekuatan pembuktian materil (materiele bewijskracht) ialah kepastian bahwa apa yang tersebut dalam akta tersebut merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs).
Dari tiap-tiap akta notaris, kita harus dapat menilai sampai dimana kekuatan pembuktiannya, bagaimana perbandingan dari kekuatan-kekuatan pembuktian yang tersimpul di dalamnya. Ada kalanya, bahwa meskipun kekuatan pembuktian yang luar (uitwendige bewijskracht) kuat, tetapi kekuatan pembuktian formalnya atau materialnya kurang kuat, karena terlalu banyak mengandung tindakan-tindakan nyata (feitelijke handelingen) dan kurang mengandung tindakan-tindakan hukum, sehingga untuk sebagian saja merupakan alat pembuktian yang kuat.
7. Sifat-Sifat Akta Notaris
Tiap-tiap akta notaris memuat catatan atau berita acara (verbaal) dari apa yang oleh notaris dialami atau disaksikannya, antara lain apa yang dilihatnya, didengarnya atau dilakukannya. Apabila akta hanya memuat apa yang dialami dan disaksikan oleh notaris sebagai pejabat umum, maka akta tersebut disebut verbalakte atau akta pejabat (amtelijke akte). Misalnya, berita acara dari suatu RUPS. Selain itu ada juga akta-akta yang selain memuat berita acara dari apa yang dialami dan disaksikan oleh notaris, mengandung juga apa yang diterangkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan dikehendaki oleh mereka supaya dimasukkan dalam akta notaris untuk mendapat kekuatan pembuktian yang kuat sebagai akta otentik. Apabila suatu akta selain memuat catatan tentang apa yang disaksikan dan dialami, juga memuat apa yang diperjanjikan atau ditentukan oleh para pihak yang menghadap, maka akta tersebut disebut akta partij atau akta pihak-pihak (partij acte).
Dalam akta pejabat atau akta verbal, masih tetap sah sebagai alat pembuktian apabila salah satu pihak tidak menandatangani, asal disebutkan oleh notaris apa sebabnya ia tidak menandatangani akta tersebut. Pada akta pihak, maka akan menimbulkan akibat hukum lain, bahwa ia tidak menyetujui perjanjian tersebut, apabila dalam hal perjanjian, kecuali apabila terdapat alasan-alasan kuat, terutama dalam hal fisik sehingga menyebabkan akta tidak dapat ditandatangani dan alasan tersebut harus dicantumkan jelas oleh notaris dalam akta bersangkutan.
Verlijden sering diartikan sebagai serangkaian tindakan-tindakan yang dilakukan oleh notaris, saksi-saksi dan para penghadap sehingga merupaka suatu proses, yang dimulai dengan penyusunan (pembuatan) aktanya oleh notaris, kemudian dibacakannya oleh notaris kepada para penghadap dan saksi-saksi dan akhirnya ditandatangani oleh para penghadap, saksi-saksi dan notaris. Menurut Klaassebm, verlijden itu harus diartikan: membaca aktanya oleh notaris kepada penghadap dan saksi-saksi serta penandatangan oleh penghadap dan saksi-saksi dan notaris. Dalam bahasa Indonesia sering diartikan sebagai “diresmikan”.
8. Syarat-Syarat Otentisitas Akta Notaris
Suatu akta disebut otentik bukan karena penetapan undang-undang, melainkan karena dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum. Pasal 1868 KUH Perdata merupakan sumber untuk otentisitasnya akta notaris, yang juga merupakan legalitas eksistensi akta notaris, dengan syarat-syarat sebagai berikut:
A. Akta Dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) Seorang Pejabat Umum.
Syarat pertama, akta otentik adalah keharusan pembuatannya di hadapan atau oleh pajabat umum (openbaar ambtenaar). Kata “di hadapan” menunjukkan bahwa akta tersebut dibuat atas permintaan seseorang, sedangkan akta yang dibuat “oleh” pejabat umum karena adanya suatu kejadian, pemeriksaan, keputusan dan lain sebagainya (berita acara rapat, protes wesel, dll.).
Apakah yang dimaksud dengan Pejabat Umum (openbaar ambtenaar)? Seseorang yang menjadi pejabat umum apabila ia diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu. Oleh karena itu, ia ikut serta melaksanakan kewibawaan  (gezag) dari Pemerintah.
Pejabat umum tidak sama dengan pegawai negeri, meskipun pegawai negeri mempunyai tugas untuk melayani umum, akan tetapi mereka bukan pejabat umum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1868 KUH Perdata. Jadi, hanya pajabat umum dalam arti Pasal 1868 KUH Perdata yang berhak membuat akta otentik, yang bisa saja merupakan pegawai negeri, misalnya Pegawai Catatan sipil. Antara pegawai negeri dan pemerintah ada hubungan kedinasan (dienstbetrekking) yang diatur dalam peraturan dan perundang-undangan mengenai Pegawai Negeri.  Hal ini tidak berlaku bagi notaris, yang meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, peraturan tersebut tidak berlaku bagi mereka. Jadi, dapat dikatakan bahwa notaris adalah orang swasta biasa, namun memiliki wewenang dan kewajiban yang penting yang tidak dijumpai pada orang swasta biasa. Pasal 50 PJN, notaris wajib menjunjung tinggi martabat jabatannya. Lingkup akta otentik tersebut harus dikehendaki oleh para pihak atau pihak yang berkepentingan dan apabila oleh perundang-undangan (algemeine verordening) hal-hal tersebut di atas harus dinyatakan dalam akta otentik.
Otentisitas dari akta notaris bukan karena penetapan undang-undang, akan tetapi karena dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum. Dalam hal ini, otentisitas akta notaris bersumber dari Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris,  di mana notaris dijadikan sebagai pejabat umum sehingga akta yang dibuat oleh notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta otentik, seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUH Perdata.
B. Akta Dibuat dan Diresmikan (Verleden) dalam Bentuk Menurut Hukum.
Syarat kedua yang harus dipenuhi oleh sebuah akta otentik adalah formalitas pembuatan serta peresmiannya. Agar memenuhi syarat sebagai akta otentik, akta harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (vorm), yaitu harus memenuhi ketentuan undang-undang. Dalam hal akta notaris, maka harus memenuhi ketentuan yang tercantum dalam UUJN. Ketentuan mengenai sifat dan bentuk akta notaris dapat ditemukan dalam Pasal 38 UUJN. Menurut UUJN, akta antara lain harus dibuat di hadapan atau oleh pejabat umum, dihadiri oleh saksi-saksi, disertai pembacaan oleh notaris dan sesudahnya langsung ditandatangani dan seterusnya. Tindakan-tindakan yang diharuskan oleh undang-undang ini harus disebutkan dalam akta.
Undang-undang mengharuskan bahwa akta-akta partij harus ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan. Apabila ketentuan ini tidak dilaksanakan, akta tersebut dapat kehilangan otentisitasnya.  Menurut Asser-Anema, tulisan adalah pengemban tanda-tanda baca yang mengandung arti serta bermanfaat untuk menggambarkan suatu pikiran.  Dari sini, tulisan tidak diharuskan untuk menyandang tanda tangan.
Sementara, tanda menurut Veen Boukea adalah suatu tulisan yang, tanpa memperhatikan isinya, secara lahiriah merupakan kesatuan yang lengkap. Akta menurut Veegens-Oppenheim-Polak, diterjemahkan sebagai suatu tulisan yang ditandatangani dan dibuat untuk dipergunakan sebagai bukti.
Masyarakat menganggap pembubuhan tanda tangan merupakan tindakan yang penting, dengan anggapan bahwa penandatanganan berarti terikat terhadap apa yang telah ditulisnya atau di bawah mana ia membubuhi sidik jarinya. Penandatangan menurut De Joncheere bahwa tanda tangan (ondertekenen - membuat tanda di bawah) tidak dapat berdiri sendiri. Jadi, harus di bawah sesuatu dan sesuatu itu haruslah tulisan. Penandatanganan adalah suatu fakta hukum: Suatu penyataan kemauan dari pembuat tanda tangan (penanda tangan) bahwa ia dengan membubuhi tanda tangannya di bawah suatu tulisan menghendaki agar tulisan itu dalam hukum dianggap sebagai tulisannya sendiri.  Kaisar Justitianus merupakan orang pertama yang menyatakan bahwa segel saja tidak cukup dan mengharuskan para saksi turut menandatangani. Kegunaan saksi ini adalah untuk menunjukkan orang-orang yang dapat memberi kesaksian apabila terjadi sebuah sengketa tentang asal usul akta tersebut.
3. Pejabat Umum yang Dimaksud harus Berwenang untuk Membuat Akta Tersebut.
Syarat ketiga adalah bahwa pejabatnya harus berwenang untuk maksud itu di tempat akta tersebut dibuat. Berwenang dalam ini khususnya menyangkut:
a.       Jabatannya dan jenis akta yang dibuatnya.
b.       Hari dan tanggal pembuatan akta
c.       Tempat di mana akta dibuat
Berwenang, artinya:
1. Seorang notaris diangkat oleh Menteri Kehakiman (sekarang Menter Hukum dan HAM) dengan Surat Keputusan. Seorang notaris yang meskipun sudah diangkat, tetapi belum disumpah cakap sebagai notaris, tetapi belum berwenang membuat akta otentik. Demikian juga dengan seorang notaris yang sedang cuti.
Seorang notaris yang diskor sebagai notaris dinyatakan tidak cakap (onbekwaam). Sering dijelaskan dalam kuliah-kuliah “tidak cakap” mencakup seluruh kemampuan bertindak sebagai notaris, sedang notaris tidak “tidak berwenang” hanya dalam beberapa hal atau keadaan, misalnya bilda berada di daerah yang tidak termasuk dalam wilayah kedudukannya. Bila seorang notaris berada di luar wilayah kedudukannya dan ternyata membuat sebuak akta, maka ia bersalah membuat pemalsuan material (materiele vervalsing).
Jenis akta yang dibuat oleh seorang notaris. Seorang notaris boleh membuat semua akta dalam bidang notariat, tetapi dia tidak boleh membuat berita acara pelanggaran lalu lintas atau keterangan kelakuan baik, yang semuanya wewenang kepolisian, ia juga tidak boleh membuat akta perkawinan, akta kematian, akta kelahiran (bukan akta kenal akte van bekenheid) yang semuanya adalah wewenang pegawai catatan sipil.
2. Seorang notaris harus berwenang pada tanggal akta dibuat. Notaris yang sudah diangkat, tetapi belum disumpah dan seorang notaris yang sedang bercuti, tidak berwenang membuat akta otentik sampai penyumpahannya dilaksanakan, cutinya berakhir atau cuti dihentikan atas permintaan sendiri.
3. Notaris telah disebutkan diangkat oleh Menteri. Pengangkatan mana dilakukan untuk suatu wilayah (propinsi – gewest). Pada jaman penjajahan Belanda, tidak ada pembagian wilayah propinsi untuk daerah di luar Jawa (sehingga namanya disebut residentie). Selain batas wilayah ini, berlaku pula ketentuan kode etik bagi kalangan notaris sehingga terdapat pembatasan wilayah kerja notaris.
Notaris dalam menjalankan jabatannya harus memiliki beberapa kewenangan sehingga akta yang dibuatnya berlaku sebagai sebuah akta otentik. Kewenangan notaris dalam ini meliputi 4 hal,  yaitu:
a.        Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat;
Tidak semua pejabat umum dapat membuat semua akta. Sebagai pejabat umum, notaris memiliki kewenangan yang bersifat umum (regel), sedangkan pejabat lain yang dimaksud oleh undang-undang bersifat pengecualian. Notaris hanya berwenang membuat akta-akta yang telah ditugaskan atau dikhususkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pengecualian wewenang yang ditugaskan kepada notaris, antara lain sebagai berikut:
·        Akta pengakuan anak di luar kawin (Pasal 281 KUH Perdata);
·        Berita acara tentang kelalaian pejabat penyimpan hipotik (Pasal 1227 KUHPerdata);
·        Berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinasi (Pasal 1405 dan 1406 KUH Perdata);
·        Akta protes wesel dan cek (Pasal 143 dan 218 KUHD);
·        Akta catatan sipil (Pasal 4 KUH Perdata).
b.        Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang, untuk kepentingan siapa akta tersebut dibuat;
Notaris tidak berwenang untuk kepentingan setiap orang dengan maksud untuk menghindari terjadinya tindaka yang memihak dan penyalahgunaan wewenang. Pasal 52 UUJN memberikan pengecualian kepada notaris bahwa notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan notaris, baik karena perkawinan maupun karena hubungan darah dalam garis lurus ke bawah dan/atau ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri perantaraan kuasa, kecuali suami/istri atau orang tersebut menjadi penghadap dalam penjualan di muka umum, atau pemborongan umum atau menjadi anggota rapat yang risalahnya dibuat oleh notaris bersangkutan. Bila notaris tidak menaati ketentuan tersebut, akta notaris yang dibuatnya hanya berlaku sebagai alat pembuktian yang sama seperti surat di bawah tangan.
Pasal 53 UUJN menetapkan bahwa akta notaris tidak boleh memuat penetapan atau ketentuan yang memberikan suatu hak atau keuntungan bagi notaris, istri/suami notaris, saksi atau istri/suami saksi serta orang-orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan notaris atau saksi, baik dalam garis lurus ke atas atau bawah tanpa pembatasan derajat maupun hubungan perkawinan sampai derajat ketiga.
c.        Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat;
Wilayah hukum notaris sudah ditentukan sesuai pengangkatannya sehingga notaris tidak diperkenankan membuat akta di luar wilayah wewenangnya. Larangan bagi notaris untuk tidak menjalankan jabatannya di luar wilayah yang sudah ditentukan ditegaskan dalam Pasal 17 huruf a UUJN. Apabila notaris membuat akta di luar wilayah kerjanya, maka akta tersebut dianggap tidak sah. Dalam hal ini, notaris dianggap tidak berwenang untuk menjalankan jabatannya di luar tempat kedudukannya secara teratur (Pasal 19 ayat (2) UUJN).
d.        Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan;
Notaris tidak boleh membuat akta selama ia masih dalam status cuti atau dipecat dari jabatannya. Pasal 25 UUJN mewajibkan notaris untuk menunjuk seorang notaris pengganti selama menjalankan cuti. Artinya, notaris tidak diperkenankan untuk menjalankan jabatannya selama cuti. Notaris juga tidak boleh membuat akta sebelum ia diambil sumpahnya untuk memangku jabatan sebagai notaris. Kewajiban untuk disumpah terlebih dahulu tercantum pada Pasal 4 ayat (1) UUJN.
Apabila salah satu persyaratan di atas tidak terpenuh, maka akta yang dibuatnya adalah tidak otentik  dan hanya mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat di bawah tangan, apabila akta itu ditandatangani oleh para penghadap. Persyaratan tersebut juga berlaku untuk akta-akta yang diharuskan oleh undang-undang dibuat dalam akta notaris. Perbuatan, perjanjian, atau ketetapan yang dinyatakan dalam akta tersebut dianggap tidak sah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar