ANALISIS UU NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
ANALISIS UU NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
Oleh : Arief Rachman.,SH.,M.Kn
Didalam kehidupan manusia
kita
dapat melihat kenyataan-kenyataan bahwa dua orang yang berlainan
kelamin yaitu antara seorang pria dan seorang wanita menjalani kehidupan
bersama dalam satu kesatuan rumah tangga. Kedua orang yang berlainan
kelamin ini, disebut suami isteri, kalau kehidupan mereka didasari oleh
kaidah-kaidah hukum yang ditentukan.
Seperti yang kita sadari “zaman” terus berganti berbagai godaan
semakin kuat menghantam. Untuk itu tujuan pernikahan dalam Islam yang
kedua
ini sebagai
upaya prefentif. Tidak diragukan lagi bahwa yang terpenting dari tujuan
nikah ialah memelihara dari perbuatan zina dan semua perbuatan-perbuatan
keji, serta tidak semata-mata memenuhi syahwat saja. Memang benar bahwa
memenuhi syahwat itu merupakan sebab untuk bisa menjaga diri, akan
tetapi tidaklah akan terwujud
iffah (penjagaan) itu kecuali
dengan tujuan dan niat. Maka tidak benar memisahkan dua perkara yang
satu dengan lainnya, karena manusia bila mengarahkan semua keinginannya
untuk memenuhi syahwatnya dengan menyandarkan pada pemuasan nafsu atau
jima’ yang berulang-ulang dan tidak ada niat memelihara diri dari zina,
maka dimanakah perbedaannya antara manusia dengan binatang?
Perkawinan dalam hal ini adalah salah satu jalan untuk memelihara
manusia dari kerusakan akhlak. Oleh karena itu agama mengatur hukum
perkawinan untuk menyatukan antara umat Islam yang satu dengan yang
lainnya
agar hidup berpasang-pasangan.
Di dalam kehidupan manusia kita dapat melihat kenyataan bahwa dua
orang yang berlainan jenis kelamin yaitu antara seorang pria dan seorang
wanita menjalani kehidupan bersama dalam kesatuan rumah tangga. Kedua
orang yang berlain kelamin ini disebut suami istri, kalau kehidupan
mereka didasari oleh kaidah-kaidah hukum yang ditentukan. Dalam menunju
kehidupan bersama yang disebut suami istri ini tentu harus melalui suatu
prosedur tertentu.
Keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang menentukan prosedur yang harus
dilalui, beserta ketentuan-ketentuan hukum yang menentukan akibat-akibat
hukumnya dinamakan hukum perkawinan. Perkawinan itu sendiri tujuan
utamanya adalah untuk meneruskan keturunan, yang didapat dari anak-anak
hasil perkawinan itu sendiri. Dalam hal ini penulis berupaya untuk
menganalisis UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menjadi dasar
perkawinan di
Indonesia.
- 1. Tujuan
Sebagaimana yang diungkapkan dalam UU Perkawinan merupakan pengaturan secara
legal
upaya pelaksanaan perkawinan oleh individu. Pada pasal 1 UU No.1 tahun
1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa yang dimaksud perkawinan adalah
ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Tujuan peraturan
perundangan ini adalah memberikan kesaksian legal terhadap upaya
membentuk keluarga (rumah tangga) tersebut melalui adanya pencatatan di
Catatan Sipil dan pengakuan hukum dari negara atas tindak perkawinan.
- 2. Fungsi
Fungsi dari UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah mengesahkan
tindak perkawinan baik yang dilaksanakan secara agama tertentu maupun
secara adat, sesuai dengan yang diungkapkan pada pasal 1, dimana
perkawinan berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa; juga sebagaimana yang
diungkapkan pada pasal 2 ayat (1) yang menyatakan Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Jadi fungsi UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan
adalah memberikan pengesahan terhadap tindak perkawinan tersebut.
- 3. Letak Keadilan
Beberapa ketentuan dari UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan masih
dikritisi sebagai tidak adil karena memiliki beberapa bias pada
pasal-pasalnya. Antara lain pasal 3 ayat (1) menyatakan Pada azasnya
dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, hal ini
bertentangan dengan pasal 3 ayat (2) yang menyatakan Pengadilan, dapat
memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang
apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan. UU No.1 tahun
1974 tentang Perkawinan masih didominasi oleh ketentuan Hukum Islam yang
mana menyulitkan pemeluk agama lain yang memiliki perbedaan wacana
mengenai perkawinan, misalnya Katolik tidak mengenal adanya poligami.
Kemudian izin dari orang tua atau wali dilaksanakan secara ketat dalam
ajaran Agama Islam dan ini mempengaruhi juga pasangan dari agama lain
yang diperlakukan secara sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar