Senin, 16 Desember 2013

ANALISIS UU NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

ANALISIS UU NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN


Didalam kehidupan manusia kita dapat melihat kenyataan-kenyataan bahwa dua orang yang berlainan kelamin yaitu antara seorang pria dan seorang wanita menjalani kehidupan bersama dalam satu kesatuan rumah tangga. Kedua orang yang berlainan kelamin ini, disebut suami isteri, kalau kehidupan mereka didasari oleh kaidah-kaidah hukum yang ditentukan.
Seperti yang kita sadari “zaman” terus berganti berbagai godaan semakin kuat menghantam. Untuk itu tujuan pernikahan dalam Islam yang kedua ini sebagai upaya prefentif. Tidak diragukan lagi bahwa yang terpenting dari tujuan nikah ialah memelihara dari perbuatan zina dan semua perbuatan-perbuatan keji, serta tidak semata-mata memenuhi syahwat saja. Memang benar bahwa memenuhi syahwat itu merupakan sebab untuk bisa menjaga diri, akan tetapi tidaklah akan terwujud iffah (penjagaan) itu kecuali dengan tujuan dan niat. Maka tidak benar memisahkan dua perkara yang satu dengan lainnya, karena manusia bila mengarahkan semua keinginannya untuk memenuhi syahwatnya dengan menyandarkan pada pemuasan nafsu atau jima’ yang berulang-ulang dan tidak ada niat memelihara diri dari zina, maka dimanakah perbedaannya antara manusia dengan binatang?
Perkawinan dalam hal ini adalah salah satu jalan untuk memelihara manusia dari kerusakan akhlak. Oleh karena itu agama mengatur hukum perkawinan untuk menyatukan antara umat Islam yang satu dengan yang lainnya agar hidup berpasang-pasangan.
Di dalam kehidupan manusia kita dapat melihat kenyataan bahwa dua orang yang berlainan jenis kelamin yaitu antara seorang pria dan seorang wanita menjalani kehidupan bersama dalam kesatuan rumah tangga. Kedua orang yang berlain kelamin ini disebut suami istri, kalau kehidupan mereka didasari oleh kaidah-kaidah hukum yang ditentukan. Dalam menunju kehidupan bersama yang disebut suami istri ini tentu harus melalui suatu prosedur tertentu.
Keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang menentukan prosedur yang harus dilalui, beserta ketentuan-ketentuan hukum yang menentukan akibat-akibat hukumnya dinamakan hukum perkawinan. Perkawinan itu sendiri tujuan utamanya adalah untuk meneruskan keturunan, yang didapat dari anak-anak hasil perkawinan itu sendiri.  Dalam hal ini penulis berupaya untuk menganalisis UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menjadi dasar perkawinan di Indonesia.
  1. 1.      Tujuan
Sebagaimana yang diungkapkan dalam UU Perkawinan merupakan pengaturan secara legal upaya pelaksanaan perkawinan oleh individu. Pada pasal 1 UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa yang dimaksud perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Tujuan peraturan perundangan ini adalah memberikan kesaksian legal terhadap upaya membentuk keluarga (rumah tangga) tersebut melalui adanya pencatatan di Catatan Sipil dan pengakuan hukum dari negara atas tindak perkawinan.
  1. 2.      Fungsi
Fungsi dari UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah mengesahkan tindak perkawinan baik yang dilaksanakan secara agama tertentu maupun secara adat, sesuai dengan yang diungkapkan pada pasal 1, dimana perkawinan berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa; juga sebagaimana yang diungkapkan pada pasal 2 ayat (1) yang menyatakan Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Jadi fungsi UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah memberikan pengesahan terhadap tindak perkawinan tersebut.
  1. 3.      Letak Keadilan
Beberapa ketentuan dari UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan masih dikritisi sebagai tidak adil karena memiliki beberapa bias pada pasal-pasalnya. Antara lain pasal 3 ayat (1) menyatakan Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, hal ini bertentangan dengan pasal 3 ayat (2) yang menyatakan Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan. UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan masih didominasi oleh ketentuan Hukum Islam yang mana menyulitkan pemeluk agama lain yang memiliki perbedaan wacana mengenai perkawinan, misalnya Katolik tidak mengenal adanya poligami. Kemudian izin dari orang tua atau wali dilaksanakan secara ketat dalam ajaran Agama Islam dan ini mempengaruhi juga pasangan dari agama lain yang diperlakukan secara sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar